IDNMetro.com, Pematangsiantar – Salah satu prinsip dasar sebagai sebuah entitas nilai-nilai demokrasi, ketika sikap dan pandangan berbeda dari berbagai kelompok dalam melihat dan memahami sebuah persoalan dapat bertemu dan atau dipertemukan dalam satu wadah perbincangan yang hangat dan harmonis.
Gerak 08 Sumatera Utara dapat dikatakan berhasil mempertemukan kelompok yang berbeda pandangan dan sikap terhadap hasil revisi UU TNI yang saat ini menyita perhatian publik, dalam sebuah acara Diskusi Publik dengan mengusung tema “Quo Vadis UU TNI” Bertempat di cafe dan resto 2 De Point Pematangsiantar, Sabtu 12 April 2025.
Dihadiri Ketua Umum Gerak 08, Revitri Yoso Husodo, dalam sambutannya sekaligus membuka acara diskusi, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan hal yang sangat menarik dan merupakan pengalaman yang sangat luar biasa, ketika kelompok pro dan kontra dapat duduk bersama membahas persoalan serius yang telah banyak menyita perhatian publik terkait pengesahan revisi UU No. 34 Tahun 2004, tentang TNI.
Artinya, Kota Pematangsiantar telah menunjukkan wajah aslinya dalam menerapkan dan menjaga prinsip demokrasi, ketika perbedaan pendapat dan sikap dapat bersatu dalam sebuah forum ilmiah tanpa ada keraguan dan sentimentasi antar kelompok terhadap perbedaan pandangan dan sikapnya.
Bahwa, hari ini kita dapat berada dalam satu frekuensi yang sama meski berbeda sikap dan pandangan. Tentu hal ini sangat luar biasa yang sangat sulit kita bisa temukan di daerah lain. Demikian, Revi menegaskan antusiasmenya, untuk selanjutnya membuka secara resmi acara diskusi publik, yang mendapat sambutan hangat dari seluruh peserta dan narasumber yang hadir.
Diskusi ini dihadiri peserta yang pro dan kontra, berasal dari berbagai elemen masyarakat, seperti petani, mahasiswa, kelompok pemuda, praktisi hukum, akademisi, serikat pekerja, pengurus DPD Gerak 08 Sunut, Pengurus DPC Gerak 08 Kota Pematangsiantar.
Sementara, narasumber yang hadir diantaranya, Dr. Sarles Gultom, SH. MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Univ. Simalungun, Torop Sihombing, Ketua DPD Gerak 08 Sumatera Utara, Dame Jonggi Gultom, SH, Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Kabupaten Simalungun dan Randa Wijaya, Koordinator Wilayah I Sumut-Aceh Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI).
Dr. Sarles Gultom, dalam pemaparannya menyampaikan, bahwa revisi UU TNI telah memenuhi kaidah sistem ketatanegaraan yang berlaku di negara ini, meski pada faktanya kita menemukan sikap kontra yang berasal dari kalangan akademisi, mahasiswa dan kelompok organisasi masyarakat sipil.
Lebih lanjut, Sarles Gultom mengatakan bahwa sampai hari ini kita belum dan atau tidak menemukan satu klausul yang menyebutkan bahwa revisi UU TNI adalah upaya untuk membangkitkan kembali praktek dwi fungsi ABRI.
Hanya saja, menurut beliau yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana mengawal implementasi UU TNI yang sudah ditetapkan melalui sidang paripurna DPR RI.
Torop Sihombing dalam analisa kritisnya menyatakan dengan tegas sangat mendukung pengesahan revisi UU TNI. Hal ini ditegaskan beliau, mengingat sikap dan prilaku korup dan serta tidak ditemukannya keberanian dan kepedulian kelompok masyarakat sipil benar-benar mengabdi bagi kepentingan bangsa dan negara ini.
Apalagi, pertarungan ekonomi global yang menginginkan Indonesia tetap berada dalam pengaruh sistem ekonomi kapitalisme yang berebut keuntungan ekonomi di Indonesia, menginginkan agar kelompok masyarakat sipilnya tersebut dari persoalan pokok bangsanya, sehingga provokasi terhadap kelompok masyarakat sipil melalui penolakan revisi UU TNI adalah bagian dari skenario global untuk menghilangkan persoalan pokok bangsanya.
Hal inilah yang mendasari Gerak 08 secara organisasi sangat mendukung revisi UU TNI agar lebih profesional tampil sebagai kelompok yang ikut serta ambil bagian dalam sistem pemerintahan yang ada, karena pada dasarnya TNI lahir dan berasal dari rakyat, maka perlu kuat.
Dame Jonggi Gultom, sebagai ketua IKADIN yang sehari-harinya berprofesi sebagai Adbokat berpendapat, bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang sangat wajar, juga negara sangag menghormati hak hukum bagi setiap warga negaranya, karena semua sama dimata hukum.
Masih kata Jonggi, konstruksi revisi UU TNI telah memenuhi kaidah hukum, dan secara detail apa yang ditolak dari revisi UU dimaksud, dengan alasan penolakan sebagai manifestasi dwi fungsi ABRI, sama sekali tidak berdasar.
Hanya saja, yang harus kita kawal bersama, ketika jabatan yang diemban oleh seorang anggota TNI dan kita menemukan masalah hukum disana, katakanlah tersandung kasus korupsi, dimana penanganan kasusnya, apakah di peradilan umum atau peradilan militer. Oleh karena itu, perlu juga dilakukan sinkronisasi terhadap UU terkait lainnya, mengingat segala potensi yang akan terjadi dikemudian hari sangat berkemungkinan terjadi.
Randa Wijaya, dalam aktivitas kesehariannya sebagai mahasiswa, yang juga pada beberapa waktu yang lalu, ikut bergabung dalam aliansi mahasiswa menolak revisi UU TNI dengan tegas menyatakan sebagai kelompok yang kontra.
Semangat revisi UU TNI ini harus diwaspadai sebagai bentuk laten praktek dwi fungsi ABRI, yang kita ketahui dalam perkembangan sejarahnya sebagai kekuatan yang banyak memberi sumbangsih masalah bagi bangsa dan negara ini.
Masih kata Randa, kami lebih bersepakat bila perubahan UU TNI itu lebih diarahkan kepada perbaikan kesejahteraan prajurit ketimbang perwira ke atas, melalui revitalisasi birokrasi TNI.
Seluruh pemaparan dan pertanyaan dari peserta atas materi diskusi ini, selanjutnya dibacakan kembali oleh ketua panitia Parluhutan Banjarnahor, SH di hadapan seluruh peserta yang hadir dalam forum diskusi.
Parluhutan mengatakan bahwa resume ini nantinya akan dirumuskan kembali sebagai pokok pikiran kita bersama untuk diserahkan secara resmi kepada instansi terkait, agar profesionalisme yang kita harapkan dari TNI melalui revisi UU yang sudah ditetapkan dapat tetap kita kawal bersama. (Rel)